Usaha terus menerus untuk menyelaraskan dan memperkuat rejim perlindungan kekayaan intelektual di seluruh dunia, sebagai bagian dari Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual Berkaitan dengan Perdagangan (TRIPs), adalah usaha untuk menghambat laju pengetahuan dari negara-negara maju (industri) ke negara-negara berkembang untuk manfaat bersama dan akan berpengaruh buruk bagi alih teknologi.
Dengan ketatnya pengawasan hak kekayaan intelektual (IPR), dan dengan adanya perusahaan-perusahaan swasta yang ingin mengontrol dan memonopoli alur-alur sel dan gen, dunia sedang bergerak cepat menuju era diskriminasi ilmu pengetahuan (scientific apartheid) terhadap Dunia Ketiga. Mengetahui bahwa TRIPs merupakan kekuatan yang jahat, dan karena tidak mau mempertahankan dan menghendaki beberapa perubahan radikal dalam perjanjian yang tidak bijaksana itu, komunitas ilmu pengetahuan internasional sekarang tampil dengan idenya untuk membangun lagi amal lainnya – kali ini bagi hak kekayaan intelektual.
Sumber daya Kekayaan Intelektual Sektor Publik untuk Pertanian (PIPRA) adalah prakarsa yang dikumandangkan oleh beberapa lembaga ilmu pengetahuan dan dengan dukungan dari Yayasan Rochefeller dan Yayasan Mc Knight, di Amerika Serikat. Tujuannya adalah “untuk menjajaki kelayakan digunakannya teknologi pertanian kunci yang saling melengkapi yang dapat membantu riset sector publik.” Dengan istilah yang sederhana, teknologi itu dimaksudkan untuk menjamin bahwa usaha-usaha perusahaan swasta untuk menghambat lajunya rekayasa genetika melalui rejim paten yang lebih ketat, yang telah menghadapi perlawanan publik yang meningkat di negara-negara maju, tidak menghalangi usaha-usaha untuk mendorong teknologi yang tidak diinginkan di negara-negara berkembang.
Ironisnya Amerika Serikat sendiri yang berada digaris depan dan pertama-tama menyalahgunakan sumber daya genetik manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dan kemudian menarik kontrol kekayaan intelektual yang ketat. Selain menghentikan kejahatannya pada permulaan, usaha PIPRA lainnya menampilkan wajah kemanusiaannya bagi usaha-usaha Amerika Serikat untuk memonopoli apa yang diketahui secara tradisional dan tersedia secara bebas. Tentu saja ini tidak dimaksudkan untuk memperkecil ancaman paten-paten bioteknologi yang berpengaruh bagi riset dimasa datang, bukan pula mengenai klaim-klaim Dunia Ketiga atas pembajakan biologi (biopiracy) di mana lembaga-lembaga dan universitas-universitas Amerika menghendaki kebebasan dari hukuman (impunity). Perlindungan yang agresif terhadap penemuan-penemuan baru, termasuk proses-proses teknologi, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset dan universitas-universitas di Barat telah merusak prospek masa depan bagi pertumbuhan teknologi yang berarti di sebagian besar dunia.
Ambilah kasus ‘padi emas’ yang kontroversial. Kira-kira 16 paten dan 71 kendala kekayaan intelektual yang potensial telah mengalami perkembangannya. Ini bukan untuk mengatakan bahwa teknologi yang potensial (‘padi emas’ ini hanyalah etalase humas bagi industri teknologi) bermanfaat bagi negara-negara berkembang, tetapi pasti memperbesar ancaman yang ada dalam menghalangi penelitian dan pengembangan sektor publik di negara-negara maju dan juga di negara-negara berkembang.
PATEN DAN MONOPOLI
Belakangan ini, dan pada waktu Dewan TRIPs di WTO masih terlibat dalam peninjauan pasal 27-3 (b) Perjanjian TRIPS yang membahas bahan-bahan biologi, folklore dan pengetahuan tradisional, Kantor Paten Eropa pada bulan Mei 2003 menegakkan sebuah paten yang kontroversial yang diberikan pada Agracetus (kemudian dibeli oleh raksasa multinasional Mensanto) bagi metode pembiakan partikel (biolistic) untuk transformasi kacang kedelai. Dengan kata yang sederhana, paten yang spektrumnya luas ini, memberikan kepada Mensanto suatu kontrol yang eksklusif atas semua jenis kacang kedelai hasil rekayasa genetik. Paten itu juga mencakup semua tanaman lain yang menggunakan teknologi rekayasa genetik yang sama (GM) bagi pengembangan tanam-tanaman.
Perusahaan multinasional di bidang pembibitan Syngenta dan De Kalb juga menentang paten itu karena memberikan kepada Mensanto sebuah monopoli kontrol atas proses ilmiah yang sudah biasa digunakan. Yang menarik, sebelum memperoleh Agracetus, Mensanto juga telah menentang paten yang sama. Paten yang luas itu merupakan perintang yang besar bagi para ilmuwan negara berkembang dalam mengakses teknologi pertanian (tanam-tanaman) yang baru dan juga dalam mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman yang menggunakan sekat-sekat teknologi baru. Yayasan Rockefeller, yang mendukung prakarsa PIPRA, tidak pernah menentang atau melancarkan usaha-usaha kerjasama yang mengekspos paten yang absurd itu karena alasan-alasan yang jelas. Begitu juga halnya masyarakat ilmiah internasional, walaupun mereka mengklaim dengan keras tentang teknologi untuk kaum miskin, pernah menentang paten-paten yang tidak ilmiah itu.
Beberapa minggu kemudian, EPO memberikan paten lainnya kepada Mensanto (EP #445 929) yang memungkinkan adanya hak monopoli atas jenis-jenis tumbuhan gandum suku Indian Nap-Hal. Semua yang telah dilakukan Mensanto adalah untuk mengawinkan secara silang gandum Nap-Hal (jenis tanaman gandum ‘durum’ tradisional), dengan jenis gandum lainnya untuk mengembangkan jenis gandum baru yang lebih baik dengan ‘kualitas yang berkembang secara istimewa.’ Paten itu mencakup biskuit dan adonan yang diproduksi dari gandum ini, dan juga tanaman-tanamannya. Paten gandum Monsanto meluas ke Uni Eropa, selain itu Jepang, Canada dan Australia dimana perusahaan mencari manfaat komersialnya yang maksimum. Sel plasma gandum – jenis tanaman gandum Nap-Hal – dibeli dari bank gen yang berpusat di Inggris, dan kemudian menimbulkan pertanyaan tentang relevansi hukum mengenai akses dan manfaat bersama yang adil.
Monsanto hanya menggunakan pengetahuan tradisional yang ada untuk membiakkan jenis tanaman yang hasilnya meningkat dan dengan demikian menghalangi penggunaan dan penerapan lebih lanjut jenis tanaman gandum Indian. Walaupun perundang-undangan suku Indian yang sui generis unik – UU Perlindungan Jenis-jenis Tanaman dan Hak-hak Kaum Tani tahun 2001, benar-benar mengakui hak-hak masyarakat dan kaum tani mengingat sumbangan mereka dalam melestarikan, memperbaiki dan menyediakan sumber daya genetik tanaman bagi pengembangan jenis-jenis tanaman baru, undang-undang itu tetap mati kutu ketika paten diberikan di luar negaranya. Sistem nasional sendiri tidak mampu melindungi pengetahuan tradisional. Maukah PIPRA berbicara tentang munculnya keprihatinan-keprihatinan yang dapat membawa manfaat sejati bagi negara-negara berkembang dalam perjalanan yang panjang ?
PARA ILMUWAN PENIPU
Karena itu jelaslah bahwa prakarsa PIPRA merupakan usaha yang lain lagi untuk menipu masyarakat ilmu pengetahuan di negara-negara berkembang agar mempercayai bahwa semuanya belum hilang. Sedikit IP Crumbs dapat menopang operasi laboratorium-laboratorium ilmu pengetahuan di negara-negara Selatan. Prakarsa ini juga hadir ketika lembaga-lembaga ilmiah di negara-negara berkembang, terutaman setelah gagalnya pertemuan tingkat Menteri di Cancun, mulai mempertanyakan relevansi perjanjian TRIPS yang kira-kira akan membuat mereka kehilangan pekerjaan.
Juga sebelumnya, sebuah prakarsa serupa – jasa internasional untuk menguasai Bioteknologi Pertanian (ISAAA) – diluncurkan dengan tujuan yang mulia guna ‘membantu mengentaskan kemiskinan (poverty alleviation) dengan meningkatkan produktivitas tanam-tanaman dan pendapatan, terutama bagi petani yang miskin sumber daya dan untuk menyelenggarakan pembangunan pertanian yang lebih berkelanjutan dan lingkungan yang lebih aman’.. Sementara tidak ada sesuatu pun dari cita-cita ini yang terlaksana, ISAAA akhirnya berfungsi sebagai juru bicara industri bioteknologi. Apabila maksud-maksud kemanusiaan adalah untuk pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), para ilmuwan mestinya melakukan usaha yang tulus untuk mencari teknologi yang tahan uji yang telah digunakan selama bertahun-tahun oleh para petani marginal dan petani gurem. Yang dibutuhkan adalah meningkatkan teknologi ini, dan mengurangi ketergantungan pada hasil-hasil dari luar.
PIPRA hanyalah sebuah sedekah yang berkedok ketahanan pangan dan rakyat miskin. Masa depan teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia berkembang tidak berkaitan dengan upaya-upaya sedekah macam itu. Apa yang diperlukan oleh negara-negara berkembang adalah sistem yang lebih memungkinkan terjadinya pemilikan ilmu pengetahuan bersama secara bebas (yang bagaimanapun banyak berasal dari Dunia Ketiga) ketimbang melakukan privatisasi dan monopoli terhadap barang-barang milik publik.
* Devinder Sharma adalah analis kebijakan makanan dan perdagangan yang berpusat di New Delhi. Tanggapan dapat dialamatkan ke: [email protected]