Pertemuan-pertemuan tingkat Menteri WTO memiliki tradisi kegagalan ketika Negara-negara berkembang mempertahankan hak-hak dan kepentingan mereka yang sah. Situasi ini sudah terjadi sejak Putaran Uruguay, selama dua kali kegagalan dua pertemuan tingkat menteri di Montreal pada tahun 1988 dan Brussel tahun 1990. Titik tolaknya adalah pertanian dan penolakan negara-negara berkembang untuk menerima standar granda proteksionisme yang dijalankan oleh negara-negara Utara, sementara pada waktu yang sama mereka memaksakan terbukanya pasar di negara-negara Selatan.
Demikian pula halnya, kegagalan Pertemuan Tingkat Menteri di Seattle pada tahun 1999 sebagian besar disebabkan oleh penolakan negara-negara berkembang yang diabaikan dalam proses itu dan dipaksa menerima paket yang disepakati oleh negara-negara besar itu sendiri.
Cancun – empat tahun kemudian – sedikit berbeda. Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutu-sekutunya, sembari menampilkan retorikanya dan tampil dengan penuh kebajikan, Cuma mencoba, tapi lagi-lagi mengutip harga yang tertinggi dari dunia berkembang tanpa memberikan imbalan sesuatupun. Negara-negara berkembang tidak mundur dalam berjuang untuk memperoleh keseimbangan dalam paket itu. Koalisi G-20 terus berjuang untuk menghapuskan penyimpangan-penyimpangan dalam perdagangan produk pertanian dan G-70 (atau Aliansinya seperti yang mereka sebutkan saat ini), yang terdiri dari Uni Afrika, ACP (Afrika, Caribia dan Pasifik) dan LDC ( negara-negara kurang berkembang), yang menolak negosiasi-negosiasi baru dalam ‘isu-isu Singapura’.. Amerika Serikat tidak mau mengolah di bidang pertanian, juga tidak mau memberikan sesuatupun tentang isu kapas dimana empat negara Afrika Barat-Benin, Burkino Faso, Mali dan Chad – telah melakukan seruan keras bagi penghapusan subsidi kapas. Lobi kapas di Amerika Serikat terlalu kuat, dan pemerintahan Bush, yang memasuki pemilu tahun 2004, tidak mau mengundang kebencian pada mereka.
Pasca Cancun, orang di Jenewa berspekulasi bahwa Amerika Serikat, yang dibikin marah oleh penolakan negara-negara berkembang untuk mengalah dan ketidak berdayaan mereka untuk memaksakan agenda ke negara-negara berkembang merancang pertemuan untuk menyelesaikan penolakan itu.
Tetapi, apabila perundingan-perundingan tingkat Menteri di Doha pada tahun 2001, Seattle yang tidak ramah dan pasca Seattle adalah indikatif, pembicaraan-pembicaraan akan dimulai lagi, dan untuk menjawab pameran kekuatan dari belahan Selatan di Cancun, serangan balik dari Amerika dan Uni Eropa akan menjadi lebih agresif.
AMERIKA DAN UNI EROPA MEMUKUL BALIK :
Tentu saja serangan balik itu terjadi secara berirama. Permainan curang, yang oleh komisaris perdagangan Uni Eropa Pascal Lamy dijanjikan tidak akan dimainkan di Cancun kini sedang berlangsung . Amerika Serikat dan Uni Eropa sedang memutar cerita bahwa kegagalan pertemuan Cancun merupakan kesalahan negara-negara berkembang, dengan mengutuk mereka karena dalam perundingan- perundingan lebih bersifat retorika saja ketimbang serius. Jikalau mereka ingin bergerak maju sekarang, Uni Eropa dan Amerika Serikat mendesak agar negara-negara berkembang mengajukan penawaran yang lebih baik.
Wakil dagang Amerika Serikat Robert Zoellick, tepat setelah gagalnya Cancun, juga berkata bahwa ‘’Retorika yang kasar tentang penolakan itu mengalahkan usaha-usaha bersama yang bisa dilakukan ‘’.. Lagi pula baru-baru ini , Menteri Muda Perdagangan Amerika Serikat, Grant Aldonas berkata bahwa ‘’tidak banyak insentif‘’ bagi Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk ‘’menurunkan kendala-kendala perdagangan yang sensitif secara politik apabila negara-negara miskin tidak mau menurunkan kendala-kendala meraka.’’
Komisaris Lamy telah dikutip ketika mengatakan bahwa EC dan Amerika Serikat ?akan menunggu tanda-tanda positif yang berasal dari bagian komunitas dagang lainnya, ? seperti G-20 dan G-70.
Para menteri dan duta besar negara-negara berkembang juga banyak memperoleh serangan. Amerika Serikat, misalnya, mengadakan pertemuan para juru runding dari negara-negara berkembang yang bertempat di Washington untuk mengadukan posisi-posisi lawan perundingan mereka di Jenewa yang tidak masuk akal. Ini mengakibatkan Duta besar Nigeria di Washington menulis surat kepada Presidennya Obasanjo, untuk menanyakan posisi yang diambil oleh Duta besar Nigeria di Jenewa. Seorang Delegasi LDC dari Afrika yang menterinya terkemuka di Cancun, berkata bahwa menterinya sekarang sedang dipanggil ?setiap orang, termasuk Amerika Serikat ? ?, dan diminta menjawab pertanyaan bagaimana seandainya pembicaraan-pembicaraan Cancun dapat dikembalikan pada jalurnya. Bank Dunia dan IMF juga menulis surat kepada banyak kepala negara-negara berkembang yang menginstruksikan kepada mereka untuk memulai pembicaraan-pembicaraan yang secara jelas mengakibatkan dana pinjaman bisa diberikan atau ditarik.
Pada tanggal 13 dan 14 November, sebuah pertemuan tingkat menteri informal yang eksekutif diadakan di Cairo diantara kelompok kecil menteri-menteri Afrika. Pertemuan itu diprakasai oleh Direktur Jendral Supachai Panitchpakdi, dan kepala kabinetnya (chef de cabinet), Stuart Harbinson. Para menteri yang hadir berasal dari Benin, Botswana, Burkina Faso, Chad, Kenya, Lesotho, Mali, Mauritius, Nigeria, Senegal, Afrika Selatan, dan tuan rumah, Mesir. Topik yang dibicarakan adalah bagaimana agar para mMenteri dari negara-negara Afrika dapat mengambil langkah-langkah supaya pembicaraan-pembicaraan bergerak ke depan. Jelaslah bahwa Direktur Jenderal Supachai sedang melakukan semuanya dengan kekuasaannya untuk meminta para menteri supaya fleksibel. Bidang diskusi pokok dalam pertemuan Cairo adalah isu-isu Singapura.
Lagi pula Amerika Serikat telah menggunakan tekanannya yang luar biasa kepada G-20 untuk mematahkan koalisi. Hingga saat ini enam negara telah menarik diri dari pengelompokan itu – El Salvador, Guatemala, Peru, Ekuador, Kolumbia, dan Kosta Rica – sebagai akibat dari ancaman-ancaman bahwa Asosiasi Perdagangan Bebas mereka dan rencana-rencana perdagangan lainnya bersama Amerika Serikat akan terancam. mencoba menciptakan pemisahan Utara-Selatan
Brazil, ketua G-20, baik di Cancun dan pasca Cancun telah direcoki oleh Amerika Serikat ketika dalam keanggotaan WTO.
UPAYA-UPAYA UNI EROPA DAN AMERIKA SERIKAT SAAT INI UNTUK MENJATUHKAN NEGARA-NEGARA BERKEMBANG.
Di Jenewa, Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah menemukan duta besar Uruguay Perez Del Castillo, juru bicara yang tepat untuk kepentingan mereka. Del Castillo adalah ketua Dewan Umum pada saat ini dan telah menugaskan dirinya untuk berusaha menyelesaikan pekerjaan yang tidak diselesaikan oleh para menteri di Cancun pada pertemuan pejabat senior di Jenewa pada tanggal 15 Desember. Ia telah memilih empat isu yang paling diperdebatkan untuk memualai konsultasi-konsultasi sebagai jalan untuk membuka perundingan-perundingan : Pertanian, Kapas, isu-isu Singapura dan akses pasar non pertanian (NAMA).
Negosiasi-negosiasi utama diselenggarakan dalam konsultasi-konsultasi yang tidak transparan yang hanya diikuti oleh kira-kira 30 anggota (atau pertemuan di ruang hijau).
Di bidang pertanian dan NAMA, del Castillo telah mendorong keras agar negara-negara berkembang menerima naskah Derbez yang dihasilkan di Cancun (yang diberi nama sesuai dengan menteri Mexico yang mengetuai pertemuan Cancun).
Di bidang pertanian, naskah Derbez mirip sekali dengan naskah bersama Amerika Serikat/Uni Eropa yang diserahkan pada keanggotaan WTO Bulan Agustus, yang hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan pertanian Uni Eropa dan Amerika Serikat. Naskah itu menghendaki pembukaan akses pasar sedemikian rupa secara drastis sehingga akan memukul keras negara-negara berkembang, bukan negara-negara maju, dan tidak mempermasalahkan subsidi-subsidi secara efektif yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan ‘dumping ekspor.’
Demikian pula, dalam perundingan-perundingan akses pasar non pertanian, naskah Derbez tidak mencerminkan keprihatinan-keprihatinan negara berkembang. Naskah itu juga tidak menyertakan komitmen-komitmen yang dibuat dalam Deklarasi Doha (seperti konsep pertukaran yang tidak sempurna – less than full reciprocity), tetapi mengatrol kepentingan-kepentingan negara maju, misalnya dengan meminta formula non linear, dan juga pendekatan liberalisasi sektoral. (Lihat artikel berikutnya untuk diskusi yang lengkap tentang masalah ini). Mayoritas negara-negara berkembang dengan suara keras telah menentang dua strategi liberalisasi ini karena industri mereka lebih rentan dan mereka akan diminta lebih meliberalisasikan ketimbang negara-negara maju. Naskah itu juga tidak meminta dunia maju mengurangi proteksi mereka dengan cara yang berarti, karena naskah itu menyembunyikan isu kendala-kendala non-tarif – cara yang sangat umum dilakukan oleh negara maju untuk melindungi produk-produk industri mereka. UNCTAD telah memprediksikan bahwa jikalau agenda liberalisasi saat ini dilaksanakan maka akan terjadi kerusakan yang serius pada basis industri di banyak negara yang telah rapuh itu, yang mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi.
Tidak diragukan jikalau masalah ini diterima sebagai basis perundingan (negosiasi), negara-negara berkembang akan berjuang sangat keras agar naskah-naskah itu diperbaiki. Tetapi, seperti komentar seorang juru-runding, yang mengakui adanya hambatan-hambatan politik yang dialami oleh negara-negara Selatan dalam setiap negoisasi dengan kekuatan-kekuatan besar, “Amerika Serikat/Uni Eropa (kerangka kerjanya) sudah bias dengan kita sejak dari permulaan. Kita bisa mencoba memperbaiki mereka, tetapi mereka tidak bisa diperbaiki samasekali.”
Para juru runding dari Afrika dan negara-negara berkembang lainnya, sekarang yang mengecam gagalnya pertemuan Cancun sedang dinasehati oleh negara-negara besar bahwa kesediaan mereka menggunakan naskah Derbez yang bias ini sebagai dasar negosiasi-negosiasi adalah suatu cara untuk menunjukkan kesediaan mereka untuk konstruktif.
Demikian pula halnya, walaupun lebih dari 90 negara bersikeras untuk tidak memulai perundingan tentang isu-isu Singapura di Cancun, del Castillo tidak mempedulikan pernyataan-pernyataan mereka kepada masyarakat. Di Jenewa, ia sekarang sedang mengusulkan supaya proses klarifikasi berlanjut untuk investasi dan kompetisi, dengan maksud untuk melakukan perundingan-perundingan pada akhirnya, dan supaya perundingan-perundingan itu berjalan secara transparan dalam masalah belanja pemerintah dan fasilitasi perdagangan.
STRATEGI-STRATEGI MASYRAKAT SIPIL : MENAHAN KERETA TETAP DI LUAR JALUR (MENAHAN PERUNDINGAN AGAR TETAP MENYIMPANG DARI KEHENDAK NEGARA-NEGARA BESAR)
Sejak dari permulaan perlu dicatat bahwa WTO tidak bisa diperbaharui. Ini bukan alasan ideologis, tetapi merupakan pengamatan empiris. Jikalau anda tidak percaya, orang hanya ingin bertanya apakah sudah ada perubahan-perubahan yang telah dilakukan sejak organisasi itu dibentuk yang menguntungkan dunia berkembang.
Para juru runding dari negara-negara berkembang, serikat buruh, gerakan-gerakan sosial dan LSM-LSM telah bekerja keras sekali sejak permulaan untuk memperbaiki aturan-aturan yang tidak adil. Tetapi peraturan-peraturan itu tidak diubah sedikitpun demi kepentingan mereka. Ini benar-benar terjadi di semua bidang – pertanian TRIPS dan Kesehatan Masyarakat, isu-isu implementasi, kesepakatan kerangka kerja tentang Perlakuan Istimewa, GATS. Tetapi peraturan-peraturan itu belum pernah diubah sedikitpun sehingga menguntungkan negara-negara berkembang. Bahkan dalam pembaharuan institusional (isu-isu demokrasi dan transparansi) dimana negara-negara berkembang yang telah melakukan usaha-usaha bersama pasca Doha, tidak ada sesuatu yang berubah. Bila ada perubahan, proses-proses anti demokrasi jadi semakin lebih rumit saja. Dalam paket negosiasi-negosiasi yang ragam pada sistem multilateral WTO ini, negara-negara berkembang muncul sebagai pewaris. Lagipula, negara-negara berkembang dipojokkan dalam sudut yang sempit. Kita juga tidak perlu berilusi tentang perundingan-perundingan pada saat ini.
Walaupun koalisi-koalisi negara berkembang saat ini mampu melakukan beberapa peranannya dan ditetapkan untuk menjadi patner yang penting dan permanen pada meja perundingan, mereka akan tetap akan lemah secara politik dan kemampuan mereka untuk merencanakan arah dan agenda kelembagaan akan dibatasi.
LUAR JALUR (MENAHAN ARAH PERUNDINGAN AGAR MELENCENG DARI
TUJUH STRATEGI UNTUK MENAHAN KERETA API AGAR BERADA DI KEHENDAK NEGARA-NEGARA BESAR)
Apakah yang kemudian menjadi strategi kita? Dalam jangka pendek, pertemuan tingkat menteri WTO berikutnya di Hongkong (akhir tahun 2004 atau awal 2005) akan menjadi titik yang genting. Kereta api tetap diluar rel atau bila ada gertakan, pemutarbalikan dan serangan balik dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, kereta kembali ke relnya dan melaju dengan kekuatan baru.
Berikut ini ada beberapa saran tentang bagaimana menahan kereta itu agar tetap berada di luar rel:
1. Pertahankan agar Negara-negara anggota Uni Eropa terpecah dalam menyikapi isu-isu Singapura, Negara-negara berkembang sebaiknya tetap mengeluarkan isu-isu itu dari WTO dan Mandat Doha.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil Eropa memberikan jasa-jasa yang baik sebelum pertemuan Cancun, dengan melobi berbagai negara anggota untuk membuang isu-isu baru! Akibatnya negara-negara anggota Uni Eropa terpecah. Perpecahan itu harus diperkuat, supaya Komisi Eropa sebagai juru runding atas nama negara-negara anggota berada dalam posisi yang sesulit mungkin.
Negara-negara berkembang harus tetap mengeluarkan isu-isu Singapura dari WTO dan Agenda Pembangunan Doha karena tidak ada konsensus yang tegas untuk mengadakan perundingan-perundingan pada Pertemuan Tingkat Menteri yang kelima, seperti yang diinstruksikan dalam Deklarasi Doha. Secara hukum dapat dikatakan bahwa mandat Doha sekarang sudah berakhir (Lihat Catatan Latar Belakang Informal Tengah Selatan, ‘Status Hukum Isu-isu Singapura dalam WTO pasca Cancun’, naskah 4 November 2003). Kelompok kerja tentang isu-isu baru – Investasi, Kompetisi, Transparansi dalam Belanja Pemerintah, dan juga Sidang Istimewa Dewan Bagus yang berkenaan dengan Fasilitasi Perdagangan – harus dihilangkan.
2. Bersikeras menghentikan Negosiasi-negosiasi Pertanian sampai dihapuskannya Dumping Ekspor.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil, terutama di Amerika Serikat dan Uni Eropa harus mendesak agar pemerintah mereka menghentikan perundingan-perundingan di bidang pertanian sampai pada saatnya subsidi-subsidi langsung dan tidak langsung yang menyebabkan dumping ekspor itu dihapuskan. Sementara para petani gurem di negara-negara Utara juga memerlukan dukungan, karena penting bahwa dukungan ini tidak menimbulkan dumping. Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) misalnya, harus melukiskan antara produk-produk untuk kepentingan produksi domestik versus produksi ekspor. Tidak perlu diberikan subsidi bagi produk-produk yang ditujukan untuk pasar ekspor.
3. Inisiatif Kapas.
Inisiatif ini penting untuk dilanjutkan, dan berada pada jalur yang terpisah dari perundingan-perundingan bidang pertanian yang lebih umum. Isu ini kemungkinan merupakan penyebab gagalnya pertemuan Cancun. Dua wilayah yang tidak ingin diinjak oleh Amerika Serikat dan Komisi Eropa, dan selanjutnya dimana tekanan harus digunakan, adalah: i) menjamin dihilangkannya subsidi-subsidi kapas dan ii) memberikan kompensasi keuangan bagi kerugian-kerugian yang ditimbulkan. Baik Brussel maupun Washington ketakutan jikalau ga kompensasi yang diberikan pada Afrika Barat akan menentukan preseden dalam WTO untuk memberikan kompensasi keuangan pada sektor-sektor lainnya.
4. Perundingan-perundingan Akses Pasar Non-Pertanian (NAMA)
Mendukung negara-negara berkembang dalam melawan liberalisasi yang drastis dalam sektor industri. Sebelum perundingan-perundingan dimulai, studi-studi tentang dampak liberalisasi dan industrialisasi di negara Selatan harus lebih banyak dilakukan.
5. Menentang Penguatan Kekuasaan Sekretariat dan Direktur Jenderal, Mendesak adanya Demokrasi dan Transparansi
Sementara komisi dagang Eropa Lamy telah berkata bahwa WTO merupakan “ abad pertengahan”, maksud sesungguhnya adalah menjadikan WTO sebagai Zaman Batu sehingga proses pembuatan keputusan merupakan salah satu dimana posisi-posisi negara-negara maju akan menang. Diantara pembaharuan-pembaharuan lainnya, Komisi Eropa sedang mengusulkan penambahan dana untuk secretariat dan penguatan kekuasaan Direktur Jenderal (DG). Kedua hal ini sangat berbahaya.
500 Staf sekretariat WTO yang kuat memiliki track record (reputasi) untuk mendesakkan agenda negara-negara besar. Ketimbang Para Ketua, Sekretariat lebih bertanggung jawab dalam menyusun bahasa pada naskah perundingan yang selalu muncul bertentangan dengan kepentingan-kepentingan negara-negara berkembang. Demikian pula halnya, saran untuk memperkuat peran direktur jenderal tidak perlu diterima. Posisi direktur jenderal harus tetap netral dan direktur jenderal (DG) tidak perlu terlibat dalam perundingan-perundingan. Peran yang diperkuat bisa melegitimasi direktur jenderal (DG) yang mengambil posisi-posisi dalam perundingan, yang semestinya tidak demikian. Walaupun direktur jenderal (DG) saat ini adalah ketua Komite Negosiasi Perdagangan, posisinya harus dibatasi untuk memfasilitasi perundingan-perundingan antara para anggota, bukan mengarahkan perundingan-perundingan menurut kebijaksanaannya sendiri.
6. Mempertahankan Bersama Koalisi Negara-negara Berkembang
Kelompok-kelompok masyarakat sipil seharusnya benar-benar berada di belakang koalisi-koalisi yang ada sebagai senjata perlawanan politik terhadap aliansi Uni Eropa – Amerika Serikat. Gertakan terhadap masing-masing negara harus diumumkan. Pada tingkat nasional, kelompok-kelompok di tempat itu harus mendukung dan bahkan memberikan tekanan kepada pemerintah mereka untuk memainkan peranan yang aktif dalam koalisi-koalisi ini. Ini perlu mengingat adanya maneuver-manuver bersama dan jelas yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk mematahkan G-20 dan juga aliansi/G-70 (ACP, Uni Afrika dan LDCs). Di Brazil misalnya, perpecahan-perpecahan telah terditeksi antara Menteri Pertanian dan Menteri Luar Negeri, di mana Menteri Pertanian yang menuduh Menteri Luar Negeri Celso Amorin, yang memimpin pertemuan G-20 di Cancun, yang bersama dengan negara-negara seperti India yang dirasa ingin memroteksi sektor pertaniannya. Seberapa kuatnya G-20 dan aliansinya menjaga persatuan, akan menjadi faktor yang menentukan bagi hasil Pertemuan Tingkat Menteri di Hongkong.
7. Medium Jangka Panjang: Menuju Rencana Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kelompok-kelompok masyarakat sipil harus mencari alternatif-alternatif diluar WTO dan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas bilateral saat ini, yang didasarkan pada penempatan kepentingan perusahaan dibelakang rakyat atau pembangunan. Rencana-rencana masa depan perdagangan barangkali dibangun atas dasar kerjasama Selatan-Selatan dan kerjasama dengan negara-negara lain yang pandangan politiknya lebih adil – harus menempatkan rakyat dan ekologi sebagai keprihatinan utama.