(Artikel ini didistribusikan pada surat kabar oleh Knight-Ridder/Tribune Information Services.)
“Tuhan memberi saya uang,” demikian pernyataan John D. Rockefeller dengan gaya pongah yang menjadi ciri khas raja-raja penghisap uang Amerika di akhir abad ke-19. Namun sekarang ketika kaum kaya menimbun kekayaan dengan memeras semua orang lainnya, dan menggunakan pengaruh politik mereka untuk mengakali aturan mainnya, mereka mengambil argumen lain untuk membenarkan tindakannya. Semakin lama, mereka semakin mengambil argumen dari lapangan ekonomi – biasanya banyak cacatnya.
WTO mengumpulkan para menteri dari 146 negara – di samping banyak NGO – ke kota resort di Cancun, Mexico minggu ini. Satu isu yang hampir saja menggagalkan perundingan ini bahkan sebelum dimulai adalah perdagangan obat internasional. Di satu pihak berdirilah negeri-negeri berkembang dan kelompok-kelompok kemanusiaan semacam MSF (Dokter tanpa Batas Negeri) yang menginginkan agar orang miskin dapat memperoleh akses pada obat-obatan generik esensial yang murah. Yang menentang mereka adalah perusahaan-perusahaan farmasi besar, yang didukung oleh pemerintah AS dan Uni Eropa. Mereka menginginkan agar paten ala Amerika diberlakukan di seluruh dunia sejauh yang dimungkinkan .
Biasanya orang berpendapat bahwa para pembela kaum miskin memiliki argumen moral dan politik yang kuat, tapi perusahaan-perusahaan obat itu memiliki argumen ekonomi. Karena pandangan yang luas semacam ini, perundingan antara kedua pihak dilihat – setidaknya seperti yang dilaporkan oleh media massa – sebagai sebuah proses yang sah untuk mencapai keseimbangan yang sesuai dengan kepentingan publik. Namun, sebagaimana yang dipahami oleh para ekonom, argumen ekonomi yang paling kuat justru berada di tangan MSF. Sebuah monopoli atas paten akan bekerja sebagaimana tarif cukai, hanya saja pengumpulnya adalah perusahaan swasta, bukan pemerintah. Seperti cukai, paten menciptakan distorsi ekonomi dan ketidakefisienan, di samping efek redistribusi pendapatan. Dan karena paten dapat meningkatkan harga obat beberapa kali lipat, hal ini menjadi jauh lebih tidak efisien daripada tarif cukai yang hanya meningkatkan harga barang dagangan seperti jus jeruk atau baja sebesar beberapa persen saja. Coba saja lihat obat anti-retroviral yang digunakan untuk mengobati HIV/AIDS: dari obat paten membutuhkan biaya USD 8000 per tahunnya, sementara obat generiknya hanya memakan kurang dari USD 300.
Para ekonom yang konsisten dengan dukungan mereka terhadap pasar bebas – contohnya Jagdish Bhagwati dari Universitas Colombia, salah satu ekonom paling terkemuka di dunia saat ini – menentang penggunaan WTO untuk memaksakan monopoli paten. Hal ini masuk akal: jika anda sungguh-sungguh percaya dengan perdagangan bebas, anda pasti menginginkan perdagangan bebas dalam bidang farmasi, di mana harga yang harus dibayar dengan adanya proteksionisme adalah yagn tertinggi di antara industri-industri lainnya.
Isu ini, lebih daripada isu-isu yang lian, menunjukkan betapa tidak akurat dan menyesatkannya penggambaran bahwa WTO (atau proposal tentang FTAA atau NAFTA) sebagai sebuah perjanjian “perdagangan bebas”. Sesungguhnya, riset yang dilakukan oleh Bank Dunia sendiri menunjukkan bahwa negeri berkembang pasti mengalami kerugian jika menerapkan peraturan WTO tentang properti intelektual (yakni: paten dan hak cipta). Kerugian ini lebih besar daripada apa yang mungkin mereka dapat raih dengan adanya akses pasar eksport ke negeri-negeri kaya. Dengan kata lain, proteksionisme yang dipastikan oleh adanya perjanjian-perjanjian ini, baik dalam hal farmasi maupun bidang lain, jauh lebih penting dari sudut pandang yang murni ekonomis ketimbang poin tentang penghapusan hambatan dagang oleh negeri-negeri maju.
Perusahaan-perusahaan farmasi bersikukuh bahwa keuntungan mereka harus dilindungi dari pesaing generik mereka. Jika tidak, tidak akan ada insentif untuk mengembangkan obat baru. Tapi hal ini jelas tidak benar di negeri-negeri maju. Di sini penelitian tidaklah berlangsung. Bahkan di AS sekalipun, di mana sekitar setengah dari semua penelitian biomedis telah dibiayai oleh pemerintah atau sumber-sumber non-profit, argumen ini tetaplah harus dipertanyakan. Di sini, di negeri terkaya di dunia, kesia-siaan dan ketidakefisienan sistem paten telah berlangsung begitu tidak terkendali sehingga kita bahkan tidak lagi sanggup membiayai pengobatan bagi kaum jompo di sini.
Satu kesepakatan telah dicapai akhir bulan lalu, yang akan memungkinkan adanya celah bagi negeri berkembang untuk mengimport obat generik. Dengan begitu, pertemuan tingkat menteri di Cancun terselamatkan dari kemungkinan gagal gara-gara isu ini. Tapi tidak ada alasan bagi negeri-negeri berkembang untuk begitu saja melepaskan hak mereka atas perdagangan bebas dalam bidang farmasi. Ketika telah ditelanjangi argumen ekonominya, penggunaan WTO untuk memaksakan peraturan paten ala AS ke seluruh dunia kini terlihat sebagaimana aslinya: kerakusan proteksionis, dalam skala yang bahkan akan membuat malu para raja penghisap uang Amerika abad ke-19 dulu itu.
Mark Weisbrot adalah ko-Direktur pada Center for Economic and Policy Research di Washington DC (www.cepr.net)