Oleh :Walden Bello
(Dimuat kembali oleh Focus on Trade dengan persetujuan dari Inter-Press Service. Tidak untuk direproduksi oleh pihak lain tanpa persetujuan IPS.)
BANGKOK, AUG (IPS) – Dengan semakin mendekatnya pertemuan tingkat menteri kelima dari World Trade Organization (WTO), organisasi yang pada saat kelahirannya tahun 1995 dielu-elukan sebagai tahta dari pengaturan ekonomi global ini sekarang terjebak dalam kemacetan total.
Sekalipun jelas ada upaya untuk memberi citra positif atas negosiasi yang telah terjadi dua tahun belakangan ini, rancangan deklarasi untuk pertemuan tingkat menteri yang baru saja dikeluarkan hanya menunjukkan sedikit saja konsensus atas berbagai isu panas yang telah memecah-belah anggota-anggota WTO.
PERUNDINGAN BUNTU
Direktur Umum WTO Supachai Panitchpakdi menggembar-gemborkan tentang tercapainya satu kompromi “yang sukses” di menit terakhir mengenai isu-isu keras mengenai hubungan antara Hak Cipta Intelektual Komersial (TRIP – Trade-related Intellectual Property Rights) dan pelayanan kesehatan umum dalam hal produksi dan import obat-obatan yang bersifat vital. Walau demikian, banyak analis menentang pendapat itu dan mengemukakan bahwa kompromi itu lebih condong pada perlindungan atas hak paten perusahaan-perusahaan farmasi Negara Utara daripada meningkatkan akses jutaan orang di Selatan yang menderita HIV-AIDS dan penyakit menular lain pada obat-obatan yang penting untuk menyelamatkan hidup dan memperpanjang umur mereka. Sangatlah diragukan bahwa hal ini akan dapat menyingkirkan hambatan di dalam negosiasi atas isu-isu lain. Terutama isu-isu di mana perbedaan antara Utara-Selatan, juga persaingan saling-gorok antar negara kaya, terjadi dengan paling sengitnya.
Sebelum kompromi itu terjadi, perundingan itu mengalami jalan buntu karena penolakan AS untuk bergeser dari posisinya bahwa pelonggaran atas hak paten harus dibatasi pada kasus obat HIV-AIDS, malaria dan TBC. AS menyangkal deklarasi dari Pertemuan Tingkat Menteri Keempat di Doha tahun 2001 yang jelas-jelas menempatkan masalah kesehatan publik di atas kepentingan hak cipta intelektual dari korporat besar.
Upaya di saat terakhir dari Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk mengadakan satu kerangka perundingan untuk menghidupkan kembali pembicaraan yang buntu tentang liberalisasi bidang pertanian kelihatannya telah memukul bali mereka sendiri. Negeri-negeri berkembang melontarkan kritik yang pedas pada kedua blok perdagangan adidaya ini karena mereka kembali mengambil sikap yang sama seperti pada tahun-tahun terakhir Putaran Uruguay (1986-94). Negeri-negeri adidaya ini telah membuat berbagai kesepakatan di bawah tangan tanpa melibatkan ke-144 negeri anggota WTO yang lain. Brazil, India dan China – kekuatan pendorong dari negeri-negeri berkembang – segera menanggapi hal ini dengan menerbitkan satu paper yang dengan tegas menuntut Eropa dan Amerika untuk segera menghentikan omong-kosong mereka dan secara radikal memangkas tingkat subsidi tinggi yang merupakan penyebab banjirnya produk olahan pertanian dan daging mereka di pasar dunia, karena hal ini telah membuat ratusan ribu petani di negeri berkembang megap-megap.
Belum ada gerakan apapun untuk memulai perundingan untuk menempatkan apa yang disebut isu-isu “yang terkait dengan perdagangan” ke dalam wilayah kewenangan WTO, seperti isu tentang investasi, kebijakan mengenai persaingan, transparansi dalam pengambilalihan oleh pemerintah dan upaya untuk memfasilitasi perdagangan. Oleh Washington dan Brussels hal ini dianggap sebagai point terpenting dari Deklarasi Doha. Sesungguhnya, masih terdapat satu ketidaksepakatan yang mendasar mngenai apakah memang ada mandat untuk memulai perundingan termaksud. Negeri-negeri berkembang menanggap bahwa harus ada satu “konsensus eksplisit” dari tiap negeri sebelum perrundingan itu dapat dimulai. Sebaliknya, Uni Eropa dan negeri maju lainnya mengklaim bahwa persetujuan untuk memulai perundingan sudah ada. Tinggal lagi dibereskan soal-soal mengenai “modalitas”-nya.
FAKTOR MASYARAKAT SIPIL
Beberapa pengamat menyatakan bahwa ketiga elemen kunci dari “skenario Seattle” telah mulai bangkit kembali, dengan merujuk pada “perumusan” yang telah menghasilkan kegagalan Pertemuan Tingkat Menteri ke-3 di Seattle bulan Desember 1999 yang terkenal itu:
– sikap keras kepala dari Uni Eropa dan Amerika Serikat mengenai soal pertanian kembali mengemuka;
– negeri-negeri berkembang semakin kesal;
– masyarakat sipil telah mulai bergerak.
Faktor masyarakat sipil tidak boleh diremehkan begitu saja. Jumlahnya tidak begitu jelas, tapi setidaknya 15 ribu orang dari segenap penjuru dunia mungkin muncul di Cancun. Jumlah ini setara dengan 5% dari total populasi Cancun yang 300 ribu orang itu – bisa saja ini menghasilkan sebuah titik massa-kritis. Pada saat ini hampir 10 ribu petani yang dipimpin oleh kelompok petani Mexico UNORCA dan federasi tani global Via Campesina berencana mengadakan rally ke Convention Centre yang bertempat di lokasi hotel yang dijaga ketat untuk menghantarkan sebuah pesan pada pertemuan tingkat menteri ini. Pesan itu menuntut agar WTO “keluar dari pertanian”. Koalisi lain yang dinamakan “Espacio Mexicano” tengah mempersiapkan satu “Forum Rakyat” yang akan berlangsung seminggu penuh. Forum ini akan berpuncak pada tanggal 13 September dengan sebuah rally yang akan dikoordinasikan dengan demonstrasi-demonstrasi di berbagai kota di seluruh dunia dengan tema “Melawan Globalisasi dan Perang”.
Mungkin perkembangan yang paling penting adalah keputusan Zapatista, kelompok insureksionis bersenjata dari komunitas kaum anak-dalam dan petani di hutan-hutan dan dataran tinggi Chiapas di selatan Mexico, untuk memberi dukungan penuh pada gerakan protes ini. “Jika Zapatista bergabung dengan mobilisasi menentang WTO, maka nama besar mereka yang berkibar di seluruh Mexico akan dapat mengubah seluruh situasinya,” demikian ujar Hector de la Cueva, salah satu koordinator Espacio Mexicano. Dengan ribuan orang Mexico yang tergugah untuk berangkat ke Cancun dan adanya aksi-aksi anti-WTO di seluruh Mexico, keputusan Zapatista dapat mengubah apa yang sampai saat ini masih dilihat oleh sebagian besar orang Mexico sebagai pertemuan orang-orang asing di “koloni turis Yankee” menjadi sebuah gerakan protes nasional yang masif.
Pihak berkuasa di Mexico kini kebingungan, sekalipun para pimpinan gerakan internasional melawan globalisasi pro-korporat besar telah berusaha meyakinkan mereka bahwa aksi-aksi demontrasi dan pertemuan-pertemuan ini akan berlangsung tanpa kekerasan. Nyatanya, telah terungkap bahwa pemerintah federal telah menyusun satu daftar “musuh”.. Daftar ini berisi orang-orang yang harus diawasi dengan ketat selama pertemuan tingkat menteri itu berlangsung. Daftar yang bocor ke tangan pers pada pertengahan Agustus ini memuat sekitar 60 nama. Di antara nama-nama itu terdapat pemimpin kaum Indian Ekuador Blanca Chancoso, ahli fisika India Vandana Shiva, dan agro-ekologis Amerika Peter Rosset – mereka diberi cap “ekstrimis”.
KRISIS INTERNASIONAL
Pergulatan yang tengah berlangsung di WTO saat ini adalah kelanjutan dari krisis kelembagaan yang pertama kali terjadi di Seattle bulan Desember 1991. Krisis ini dipicu oleh beberapa sebab. Yang pertama adalah perlawanan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil terhadap upaya keras WTO untuk menempatkan dimensi-dimensi sosial yang bersifat kritis ke bawah kekuasaan perdagangan korporat. Yang kedua adalah ketidaksenangan negeri-negeri berkembang pada segelintir negara maju yang memaksakan program liberalisasi global yang doktriner, yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan negeri berkembang. Yang terakhir adalah penentangan yang luas atas struktur pengambilan keputusan yang tidak demokratis di dalam WTO.
Luasnya cakupan reformasi yang dibutuhkan telah digarisbawahi oleh Menteri Luar Negeri Inggris Stephen Byers beberapa hari setelah gagalnya perundingan Seattle: “WTO tidak akan dapat dilanjutkan dalam bentuknya yang sekarang. Harus ada perubahan yang mendasar dan radikal agar ia mampu memenuhi kebutuhan dan aspirasi dari ke-134 anggotanya.”
Tidak satupun reformasi yang terjadi setelah Seattle, hanya penguatan persenjataan negeri berkembang yang didorong oleh Amerika dan Uni Eropa pasca Peristiwa 11 September sajalah yang telah menghasilkan satu deklarasi yang memandatkan perundingan terbatas untuk memajukan liberalisasi perdagangan selama Pertemuan Tingkat Menteri ke-4 di Doha, Watar, November 2001. Namun, apa yang disebut dengan “Putaran Doha” ini juga kemudian dengan cepat mengalami kemunduran dan menemui kebuntuan.
KRISIS GLOBALISASI
Walau demikian, krisis kelembagaan WTO ini sendiri hanyalah sebuah cerminan dari krisis lain yang lebih dalam dan komprehensif. Krisis ini terjadi pada proyek global untuk mempercepat integrasi antara sektor produksi dan pasar. Salah satu pemicu kunci dari krisis ini adalah krisis keuangan Asia tahun 1997. Krisis tersebut telah membuka mata kita bahwa liberalisasi terhadap arus modal yang menjadi titik sentral ideologi globalisasi malah dapat menjadi faktor penghancur stabilitas. Hal ini telah menyebabkan terjadinya banyak tragedi, seperti yang terjadi di Indonesia di mana 22 juta orang jatuh ke bawah garis kemiskinan hanya dalam tempo beberapa minggu.
Hancurnya reputasi dari apa yang tadinya dianggap sebagai keuntungan dari adanya mobilitas kapital yang tak berbatas, mau tidak mau, pastilah memicu pemeriksaan yang lebih luas atas klaim tentang kebenaran tenet lain dari proyek globalisasi: bahwa liberalisasi perdagangan akan memajukan kesejahteraan. Hasil dari banyak penyelidikan atas asumsi ini, yang dilakukan di akhir 1990-an, mungkin tersimpulkan dengan paling tajam oleh peneliti Bank Dunia Matthias Lundberg dan Lynn Squire: “Kaum miskin jauh lebih rentan terhadap perubahan dalam tingkat harga internasional, dan kerentanan ini diperkuat lagi oleh keterbukaan negeri tersebut terhadap perdagangan. Setidaknya dalam jangka pendek, globalisasi kelihatannya justru memperbesar tingkat kemiskinan dan ketidakadilan.”
Sejalan dengan semakin terkikisnya legitimasi atas doktrin dan kelembagaan pergerakan kapital dan liberalisasi perdagangan, proyek globalisasi makin dirongrong pula oleh perkembangan lain: kejatuhan pasar saham di tahun 2000. Kejatuhan ini menandai sebuah periode resesi dan deflasi global yang disebabkan oleh berlimpahnya kapital spekulatif dan overproduksi global. Setelah mereka dipaksa berhadapan dengan masa-masa kelangkaan, meningkat dengan cepatnya pengangguran dan lambatnya tingkat pertumbuhan, para elit penguasa ekonomi di Eropa dan AS semakin memalingkan muka dari upaya mempromosikan perekonomian global yang terintegrasi. Mereka berusaha menghapuskan sejauh mungkin halangan untuk arus kapital dan perdagangan agar sesuai dengan kepentingan umum dari kelas penguasa korporat global, dan setelah itu bergerak untuk membuat kebijakan yang akan melindungi kepentingan dari kaum elit kapitalis nasional atau regional.
Konflik AS-Uni Eropa dalam masalah pertanian, tarif cukai baja, farmasi, GMO, subsidi untuk industri pesawat dan perilaku bisnis Microsoft di Eropa mencerminkan meningkatnya proteksionisme baik di Brussels maupun Washington. Konflik ekonomi ini telah diperumit pula oleh perselisihan mengenai strategi politik yang diambil oleh AS dan negeri-negeri yang menjadi batu penjuru Uni Eropa – Jerman dan Perancis –dalam kasus Irak dan Timur Tengah.
Kebijakan ekonomi unilateral yang dianut Bush, khususnya, menandai satu pembalikan dari kondominium kapital global yang menjadi landasan kebijakan lembaga-lembaga multilateral – IMF, Bank Dunia dan WTO – sepajang masa pemerintahan Clinton. Ini adalah tanggapan terhadap krisis proyek globalisasi yang, dengan caranya mempertahankan mati-matian kepentingan kapital korporasi besar AS seperti dalam kasus TRIP dan kesehatan publik, boleh jadi akan memperdalam krisis tersebut. Hal ini juga akan memicu krisis di dalam lembaga multilateral yang selama ini digunakan untuk memajukan agenda-agenda globalisasi. Karena dengan bertumburannya kepentingan AS dan Uni Eropa di segala macam isu, semakin sulitlah bagi mereka untuk menjalankan sebuah strategi yang terkoordinir untuk memecan dan mengintimidasi negeri-negeri berkembang yang tergabung dalam WTO sekalipun itu dalam isu-isu di mana kedua blok memiliki kepentingan yang sama. Hal ini telah terjadi dalam kasus upaya mereka untuk menggolkan sebuah perjanjian investasi yang dikendalikan WTO, perjanjian yang telah ditentang dengan keras oleh negeri-negeri berkembang.
PILIHAN-PILIHAN SEMU
Dengan semakin rapuhnya kerangka kerja WTO, baik Uni Eropa maupun AS telah berpaling pada perjanjian dagang bilateral dan multilateral sebagai kendaraan bagi liberalisasi. Kedua bentuk ini akan menjamn kepentingan masing-masing blok. Pacuan ini telah dimulai, dan AS kelihatannya memimpin di depan. Baru-baru ini Washington mengumumkan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA – Free Trade Agreement) dengan Chile dan Singapura. Bulan Oktober mendatang mereka akan mengumumkan FTA dengan Thailand pada Pertemuan Puncak APEC di negeri itu. Di samping itu, selama dua tahun terakhir, pemerintahan Bush telah mencurahkan upaya yang lebih keras untuk menyelesaikan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika (FTAA – Free Trade of the Americas) daripada upaya yang dicurahkan untuk menghidupkan kembali WTO.
Negeri-negeri berkembang memandang FTA dengan tingkat kewaspadaan yang sama seperti mereka memandang WTO. Mereka mengenali bahwa perjanjian-perjanjian ini juga dilandasi oleh kepentingan hegemonik dari partner yang lebih kuat.
Ada beberapa orang yang berpandangan bahwa WTO lebih baik bagi kepentingan negeri-negeri berkembang daripada FTA karena WTO memiliki aturan dan prosedur yang terlembagakan, hal mana akan menjadi kekang bagi negeri-negeri kuat. Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Aileen Kwa, perwakilan Jenewa untuk Focus on Global South dan penulis uraian “Behind the Scenes at the WTO”.. Ia menunjuk bagaimana pemerintah di negeri-negeri kaya secara sistematik mengintimidasi dan memaksa negeri-negeri Selatan selama beberapa tahun terakhir untuk membuka pasar mereka, dan semua hal ini tersembunyi di balik tirai tebal tidak transparannya pemerintah-pemerintah Selatan.
Sesungguhnya, negeri-negeri berkembang harus berhenti membiarkan diri mereka dikungkung oleh pilihan-pilihan semu semacam itu dan mulai mengembangkan sebuah alternatif yang riil. Salah satunya adalah dengan menciptakan blok-blok ekonomi regional atau melakukan restrukturisasi atas apa yang sudah ada seperti Mercosur atau ASEAN agar dapat berfungsi sebagai mesin kemajuan ekonomi yang terkoordinasi melalui kebijakan yang dapat menempatkan perdagangan di bawah kendali pertumbuhan ekonomi.
KEGAGALAN ADALAH KEBERHASILAN
Kita tidak dapat mengabaikan (sekalipun ada ketidaksepahaman di antara mereka) bahwa AS dan Uni Eropa masih mungkin bersatu untuk memaksa negeri-negeri berkembang menyetujui inisiatif-inisiatif baru dalam perdagangan dan liberalisasi terkait perdagangan di Cancun.
Walau demikian, skenario yang makin hari makin dimungkinkan adalah bahwa pertemuan tingkat menteri ini tidak akan menghasilkan satu persetujuan liberalisasi baru yang signifikan dan pada dasarnya akan menjadi pengulangan kebuntuan pertemuan Jenewa. Bagi negeri-negeri berkembang, yang selalu digedor untuk membuka pasar mereka dan menyerahkan kendali atas bidang-bidang yang selama ini menjadi kewenangan pembuat kebijakan nasional – seperti investasi dan kompetisi – kepada WTO yang didominasi Washington dan Brussels, sebuah pertemuan tingkat menteri yang gagal dan menemui jalan buntu adalah hasil yang terbaik. Hal ini akan memberi mereka ruang bernafas untuk mengorganisir dan mengkoordinasikan pertahanan mereka. Hal ini juga akan memberi mereka dan masyarakat sipil global sebuah kesempatan untuk mengajukan satu konsepsi yang merupakan kebalikan dari globalisasi seperti yang selama ini dikuasai oleh korporat besar, globalisasi yang telah pula disebut oleh Economist, majalah yang menjadi corong ideologi perdagangan bebas, sebagai ancaman riil bagi masa depan kapitalisme karena “ekses” kapital global yang menjadi dasar berpijaknya.
(END/COPYRIGHT IPS)
*Walden Bello adalah professor sosiologi dan administrasi publik di University of the Philippines dan direktur eksekutif untuk Focus on the Global South yang berbasis di Bangkok.