Oleh Ben Moxham*


Sulit untuk menghindar dari keberadaan kios, dan ceritanya yang menyedihkan, di Timor Leste. Di satu daerah tanah terbuka yang sepi dan berdebu di desa Meligo, di distrik Bobonaro, lima kelompok janda telah mendirikan lima kios saling bersebelahan. Di sini, pelanggan yang paling besar kemungkinan akan membeli barang mereka yang diimpor itu adalah semak-semak yang kering dan tahan garam, yang tersebar di tanah terbuka itu. Setiap ibu itu telah memperoleh pinjaman kredit-mikro dari Bank Dunia, Proyek Pemberdayaan Kemampuan dan Pemerintahan Setempat (CEP), dan mereka hanya melihat satu kesempatan sebagai pengusaha di lingkungan ekonomi yang sangat susah, di negeri yang baru independen ini.

 

Lima puluh empat persen dari pinjaman mikro-kredit CEP digunakan untuk pendirian kios, dan “kelebihan kios” ini telah menimbulkan keluhan-keluhan dari para pemilik tentang sedikitnya pelanggan dan terlalu besar persaingannya. Kesulitan-kesulitan ini menjadi lebih buruk lagi karena harga barang borongan yang melonjak tinggi karena tekanan inflasi, yang disebabkan sirkus rekonstruksi internasional, dengan para konsultannya yang mendapat gaji tinggi, dan ekonomi dolar AS.


Para janda dari Meligo tidak mengerti tentang ‘kesehatan finansial’ usaha mereka karena mereka buta huruf, tetap peneliti dari Bank Dunia mengetahuinya dan dia menyimpulkan bahwa dalam 70 persen kasus, para janda di bawah program ini tidak akan menghasilkan cukup banyak uang untuk membayar kembali pinjaman asli. Seandainya proyek ini memang menegakkan pembayaran kembali pinjaman, sebagian besar penerima pinjaman sudah jatuh lebih jauh lagi ke dalam perangkap kemiskinan. Selamat datang pada kemerdekaan.


PEKERJAAN BARU YANG DISEBUT PEMBANGUNAN MASYARAKAT


Setelah kekacauan yang diprakarsai militer Indonesian menyusul pemungutan suara pada tanggal 30 Agustus 1999, di mana kemerdekaan menang, Bank Dunia datang. Dengan para elit dari Timor Leste, mereka memimpin suatu ‘Misi Penilaian Bersama’ yang merancang ‘cetak biru kebijakan’ untuk negara baru ini, serta Dana Perwalian Timor Leste (TFET) – suatu dana perwalian yang akan dikelola Bank Dunia untuk mengarahkan uang dari para donor ke dalam kerangka kerja ini. Sementara PBB memfokuskan pada pemilihan umum, hukum dan ketertiban dan mendirikan pemerintah nasional sementara, Bank Dunia, IMF dan ADB mulai membentuk kembali ekonomi negara.


Ini adalah peran kontroversiil mereka, yang dimainkan olah mereka di lebih dari 90 negara di dunia berkembang selama beberapa dekade terakhir ini. Pada awalnya, Bank didirikan pada tahun 1944 untuk membantu membiayai pembangunan kembali di Eropa setelah Perang Dunia II. Setelah itu, Bank memperluas peranannya lagi, dan menjadi pembiaya utama untuk negara-negara sedang berkembang. Melalui mandat yang terkenal sebagai tidak demokratis yang ditentukan oleh negara-negara Dunia Utara, Bank menjadi pengawas daripada ‘perubahan struktural’ ekonomi, masyarakat dan kondisi, yang diterapkan sebagai bayaran atas bantuan mereka kepada negara-negara yang lumpuh karena krisis hutang yang terjadi pada awal tahun 1980-an. Kebijakan-kebijakan perubahan ini berarti bahwa negara harus dengan sangat drastis, mengurangi peranannya dalam pengelolaan ekonomi, dengan membuka pasar domestik pada persaingan asing, menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara dan menghilangkan aturan-aturan yang mengatur penanaman asing.


Warisan dari ‘kebijakan-kebijakan neo-liberal’ ini disimpulkan oleh Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan (CEPR) yang melakukan penelitian daripada semua data ekonomi yang ada untuk pertumbuhan ekonomi dunia selama 20 tahun terakhir ini. Mereka menyimpulkan, ‘tidak ada suatu daerah pun di dunia yang bisa dikatakan oleh Bank Dunia dan IMF sudah berhasil dengan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang didorong mereka – atau dalam banyak hal, kebijakan yang mereka paksakan pada negara peminjam.’ Setelah menerima kritikan yang hebat – dari daerah-daerah termiskin di Dunia Selatan hingga pusat-pusat konferensi di Dunia Utara – Bank telah mencoba untuk mencap kembali dirinya sebagai suatu lembaga yang berkomitmen untuk memerangi kemiskinan. Bagaimana upaya-upaya mereka dilihat oleh para janda dari Meligo?

Para janda ini merupakan contoh yang menyedihkan, yang menunjukkan apa yang terjadi jika tujuan Bank Dunia untuk cepat-cepat membangun ekonomi pasar (tema semua proyek Bank Dunia di Timor Leste) dipaksakan pada ekonomi penyambung hidup yang sudah sangat mengalami keburukan. CEP merupakan ‘kapal pemimpin’ mikro-ekonomi untuk tujuan ini, dan lebih-lebih lagi. Tujuan CEP adalah untuk merangsang ekonomi pedesaan dan untuk “membangun demokrasi” dengan melakukan de-sentralisasi pemerintah. Ini dilakukan dengan memberikan Conselho-conselho CEP, yang dipilih di tingkat lokal, dana bantuan yang bisa digunakan untuk proyek-proyek kecil, yang menurut mereka (Conselho) paling tepat memenuhi prioritas-prioritas pembangunan masyarakat mereka.


Mulai pada awal tahun 2000, proyek yang mempunyai biaya $18 juta mencakup seluruh negara, dan menggunakan semua kosa kata yang baru untuk menggambarkan pembangunan: Suatu sistem conselho-conselho pembangunan desa yang bersifat ‘de-sentralisasi’ akan (a) menjalankan ‘pemerintahan yang baik’ melalui pemakaian tiga siklus pendanaan proyek yang ‘transparan’ dan ‘bisa dipertanggungjawabkan’ untuk (b) ‘memberdayakan’ masyarakat untuk ‘mengambil bagian’ dalam ‘pengurangan kemiskinan’ mereka sendiri. Pada akhir proyek ini, yang berlangsung selama hampir tiga tahun, lebih dari 400 conselho CEP membantu dalam mendirikan berbagai proyek masyarakat di seluruh negara, termasuk memperbaiki jalan, mendirikan sistem sanitasi dan air bersih, dan kios-kios yang dibiayai dengan pinjaman mikro-kredit.


CEP merupakan bagian dari perampasan Bank Dunia pada apa yang disebutnya sebagai Pembangunan yang Didorong Masyarakat (Community Driven Development) atau CDD. Banyak ‘negara yang sedang berkembang’ sekarang mempunyai suatu bentuk daripada program Bank Dunia ini. Kalau dihitung semua, $5,6 milyar dikeluarkan untuk CDD pada tahun anggaran 2000 hingga 2002 dan angka ini menjadi $9,7 milyar bila pengeluaran untuk meletakkan dasar-dasar untuk program-program ini juga dihitung (1).


Pekerjaan baru Bank Dunia di bidang CDD dan ‘pemerintahan yang baik’ adalah sejajar dengan pekerjaan baru Bank di bidang re-konstruksi pasca-konflik, suatu bidang yang lebih tinggi risikonya dalam arti keuangan. Anne Carlin dari Pusat Informasi Bank Dunia, dalam laporan baru-baru ini menceritakan kegiatan-kegiatan IFI (Lembaga Keuangan Internasional/International Financial Institution) di Afghanistan, mengatakan bahwa IFI seperti Bank Dunia telah masuk ke bidang ‘pembangunan negara’ sebagai pekerjaan baru untuk mengimbangi pengurangan dalam tuntutan untuk mendapat pinjaman dari peminjam besar seperti India dan Cina (2). Sistem dana Perwalian yang dikelola Bank Dunia di Timor Leste sudah didirikan di Afghanistan juga dan baru-baru ini juga diusulkan untuk Iraq. Semua perkembangan ini memperkuat apa yang sering dinyatakan, bahwa Bank Dunia dan IFI yang lain sebetulnya bekerja dan berperan sebagai pengelola yang sebenarnya di dunia yang sedang berkembang.


PEMBANGUNAN NEGARA ‘CEPAT-CEPATAN’


CEP Bank Dunia di Timor merupakan contoh pertentangan-pertentangan yang muncul bila melakukan ‘pembangunan negara’ cepat-cepatan. Bank mencoba untuk memberikan baik bantuan materi dengan cepat-cepat, maupun meninggalkan lembaga-lembaga pemerintahan setempat yang sehat dan kuat, yang akan “memberdayakan” masyarakat untuk menangani pembangunan mereka sendiri. Bank memprioritaskan yang pertama, karena ia ingin menunjukkan hasil proyek dalam lingkungan rekonstruksi yang penuh dengan persaingan, yang bertanggung jawab terutama kepada para donor.


Setelah mendesakkan pencairan dana proyek secara cepat-cepatan, jadwal pelatihan diperpendek, dan ini berarti bahwa topik-topik pelatihan yang bersifat lebih partisipatif, harus dibuang. Sebagaimana disampaikan oleh seorang pelatih dari salah satu proyek CEP, ‘CEP mempunyai tumpukan aturan untuk membatasi korupsi, tetapi model pembangunan bersifat partisipatif butuh waktu untuk berkembang, dan kita kehilangan aspek ini karena cepatnya programnya.’ Aturan-aturan proyek yang cukup perinci dan struktur-struktur baru untuk conselho butuh penjelasan, dan, akibatnya, terjadi banyak kebingungan dalam masyarakat. ‘Lucunya di sini,’ kata seorang petugas distrik CEP, ‘adalah bahwa mereka meminta kami untuk menyelesaikan proyeknya dalam waktu dua bulan, tetapi masyarakat tidak mengerti proyeknya, dan ini menyebabkan konflik. Akibatnya, proyeknya makan waktu empat bulan.’


Bank menyatakan bahwa ‘partisipasi’ adalah dasar CEP: ‘proyek-proyek akan dihasilkan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan masyarakat’ (huruf miring di sini ditulis oleh mereka) (3). Akan tetapi, ide pemberdayaan ini biasanya terbatas pada memutuskan apa prioritas bagi masyarakat, untuk membangun sistem air bersih, atau jembatan. Tetapi ada banyak lagi kemungkinan tentang apa artinya ‘pemberdayaan’. Dari Porto Alegre, Brasil, ke Kerala, India, de-sentralisasi kekuasaan negara kepada pihak lokal merupakan tindakan yang positif bagi negara-negara yang sedang mengalami krisis hutang, korupsi atau program-program penghematan. Proses penganggaran yang bersifat partisipatif di Porto Alegre, mencoba untuk memungkinkan kelompok-kelompok akar rumput untuk berbicara dengan, dan menantang, kekuasaan negara, dan, dalam proses itu, untuk menghidupkan kembali hubungan-hubungan yang telah terputus karena pengurangan jumlah uang dalam anggaran atau tidak adanya kemajuan dalam kebijakan.


Malahan, masyarakat-masyarakat di mana proyek-proyek CEP dilaksanakan, hanya mendapat seorang manajer proyek ‘teknokratis’ dari Bank Dunia, yang duduk di atas infrastruktur proyek yang sangat besar, yang terdiri dari pedoman proyek, garis pedoman pengadaan, organogram, misi pengawasan dan Petunjuk Prestasi Utama. Menurut seorang pelatih proyek, conselho-conselho itu ‘lama-lama berupa tidak lebih dari mekanisme untuk pencairan bantuan dana.’


Ruang lingkup pilihan masyarakat atas proyek-proyek yang mereka inginkan sepertinya juga dibatasi karena preferensi Bank atas proyek-proyek prasarana yang memelihara pasar. Sebagaimana dikatakan dalam Laporan Penilaian pertama, hanya ‘prasarana yang bersifat ekonomik’ dapat dibangun di bawah CEP. (4) Sementara kata-kata ini diganti dalam dokumen-dokumen yang menyusulnya, prasangka semacam ini sepertinya telah masuk ke proses-proses persetujuan proyek. Misalnya, meskipun pendidikan dan kesehatan diidentifikasi sebagai prioritas utama dalam konsultasi masyarakat luas dalam rangka pengembangan rencana pembangunan nasional, sekolah dan klinik kesehatan (Puskesmas) hampir tidak pernah dibiayai sebagai proyek di bawah CEP. (5) Tetapi fasilitas kesehatan di pedesaan sangat dibutuhkan di negara di mana satu dari setiap seratus perempuan meninggal dunia akibat melahirkan(6) dan di bidang pendidikan, perbandingan antara murid dan guru adalah 52. (7) Apakah kios bisa berperan dua, sebagai klinik bersalin?


Jenis partisipasi ini tidak berhasil dalam menimbulkan semangat besar antara masyarakat. Hasilnya, ‘partisipasi’ ditentukan oleh banyak petugas CEP dan anggota conselho sebagai masalah utama yang dihadapi proyek CEP. Tanpa SDM yang dibutuhkan untuk memantau dan menyumbang pada proses-proses di conselho, sistemnya mengalami ketegangan besar yang tidak bisa diperbaiki dengan hanya mengirim memorandum peringatan dari Bank kepada para staf proyek di lapangan. CEP adalah contoh buruk proses depolitisasi dan birokratisasi dari beberapa percobaan baru-baru ini yang bersifat radikal dan partisipatif di bidang demokrasi kerakyatan (8).


MEMBAWA DEMOKRASI KE DAERAH PEDESAAN


Pada awalnya, para perancang proyek bersemangat tinggi karena conselho-conselho CEP akan berperan sebagai lembaga kunci pemerintahan setempat. Dewan-dewan diperkenalkan dengan dasar pikiran yang bertentangan, bahwa mereka akan mengisi kekosongan kepemerintahan di tingkat lokal dan memberikan kejelasan pada struktur-struktur rumit yang sudah berdiri. Ini merupakan upaya sengaja untuk mengasingkan baik kekuasaan politik yang dimiliki oleh jaringan perlawanan klandestin yang sudah meresap ke dalam masyarakat dan sangat dipercaya, maupun struktur kepemimpinan setempat yang bersifat lebih tradisional. Ide ini dipasarkan sebagai misi peradaban: suatu cara untuk membawa model demokrasi yang cocok untuk semua ke daerah pedesaan. Tetapi pihak berkuasa yang sudah ada mempunyai legitimasi sungguh-sungguh yang tidak pernah diperoleh oleh conselho-conselho CEP.


Sebaliknya, conselho-conselho ini bersusah payah untuk menetapkan suatu tujuan yang lebih dari garis transmisi ke dolar yang dikontrol oleh Bank Dunia. Mereka sering diidentifikasi oleh masyarakat sebagai conselho-conselho ‘Bank Dunia’ atau bagian dari ‘perusahaan’. Status politiknya yang cukup lemah dan kekuatan finansial mereka seringkali menyebabkan berbagai masalah, karena pihak yang berkuasa sebelumnya mencoba untuk merebut kekuasaan mereka, atau mereka menyebabkan kesetiaan yang sudah utuh dalam suatu masyarakat berpecah-belah, dalam perebutan uang conselho yang terjadi pada awalnya, suatu proses yang membingungkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, pemberi bantuan luar yang lain seperti LSM-LSM internasional, tidak mau berkonsultasi dengan conselho-conselho yang sudah ternodai namanya tersebut, dan mereka malah mengandalkan struktur yang lebih tradisional.(9) Meskipun begitu, banyak masyarakat menggunakan cara yang berhasil dan bermacam-macam untuk mengatasi masalah-masalah ini dan menggunakan sumber daya proyek CEP sebagaimana mestinya.


MEMPERLAMBAT PEMERINTAH


CEP memainkan peran dalam rencana Bank untuk mendirikan pemerintah kecil di Timor-Leste dengan memungkinkan outsourcing dan pengelolaan sendiri daripada banyak pelayanan pemerintah serta struktur pemerintahan setempat. Untuk membenarkan kesukaan mereka atas ideologi neo-liberal, Bank memperingatkan para elit Timor-Leste untuk menghindar dari hantu birokratik peninggalan zaman Suharto dengan tidak mengulangi bentuk pemerintahan yang gembung dan korup, ‘terputus dari kebutuhan dan keinginan rakyat.’(10)


Tetapi argumen seperti ini menyederhanakan pemerintah Indonesia. Sementara tindakan-tindakan tentara Indonesia di Timor-Leste merupakan pesaing kuat akan dijuluki sebagai genosida paling besar pada abad 20, pemerintahan, sebagaimana masih diingat oleh satu orang Timor, ‘membuka banyak sekolah, menciptakan pekerjaan untuk penganggur, membangun prasarana, toko, pasar dan fasilitas-fasilitas lain.’(11) Sekarang, pasar bebas telah menyebabkan pengangguran besar-besaran dan sembako yang sangat mahal. Ini berarti bahwa sekarang banyak orang Timor berbicara tentang rezim lama dengan menitiberatkan hal-hal positif seperti ini.


CEP memperlakukan Timor-Leste seperti negara dan masyarakat hampa. Mereka mengesampingkan pengetahuan kelembagaan apa saja yang tersisa dari pemerintahan sebelumnya. Malahan, proyek CEP menggunakan bantuan teknis dari sektor swasta yang masih muda dan belum berpengalaman, yang tidak mempunyai ketrampilan atau kemampuan untuk merencanakan atau mengkoordinasi dengan proyek-proyek lain. Dua tahun kemudian, dengan kegagalan teknis sudah sering terjadi, dan banyak proyek yang keberlanjutannya masih tidak pasti, salah satu laporan Bank Dunia menyimpulkan bahwa mungkin lebih baik bila proyek-proyek dikoordinasikan dengan departemen-departemen utama ‘yang mempunyai kemampuan teknis untuk memberikan nasihat tentang garis pedoman perancangan yang tepat.’(12)


Ini sering terjadi dalam proyek-proyek CDD yang dikelola oleh Bank. Dalam peninjauannya tentang Laporan Pembangunan Dunia 2004 dari Bank, Tim Kessler mengatakan bahwa proyek-proyek ini ‘biasanya melewati pemerintah setempat’ dan bahwa ‘cukup banyak pekerjaan air bersih CDD (Dana Sosial) menunjukkan keberlanjutan yang mencapai hanya 24 persen dari semua pekerjaan.’(13)


Dalam suatu pertemuan panas di Distrik Manatuto, staf pemerintah setempat merasa marah tentang model desentralisasi yang gagal dalam hal di mana, menurut mereka, seharusnya mereka berhasil. Bagi mereka, kegagalan teknis, korupsi dan kebingungan dan konflik dalam masyarakat merupakan gejala biasa dalam sistem pemerintahan yang tidak dirancang dan dikoordinasi dengan baik.


Setelah pertemuan itu, Petugas Pembangunan Distrik yang sudah jengkel membawa tim penelitian untuk melihat daerah sawah yang sangat besar, yang menurut dia menyimpulkan semua kegagalan CEP: proyek perairan yang sudah gagal dalam perkelahiannya dengan hukum fisik dasar. Akibat pemotongan biaya dari proyek ini dan ketrampilan teknis yang miskin, masalah-masalah ini sulit diperbaiki. “sawah ini hanya tahu banjir” dia mengeluh.

CEP membingungkan dan mengecewakan pemerintah nasional yang merasa bahwa ia ‘diperlakukan seperti bombeiros’, pasukan pemadam kebakaran, hanya dipanggil untuk memadam api yang disebabkan kegagalan proyek. Meskipun proyeknya pada namanya saja ditempatkan di bawah departemen pemerintah, departemen pemerintah itu disampingkan dalam pengelolaan proyek sehari-hari. Secara praktek, staf CEP lebih bertanggung jawab pada Bank. Apa yang meningkatkan pertentangan ini antara pihak-pihak terkait adalah upaya Bank untuk menciptakan staf CEP yang mengikuti citra mereka sendiri. Gaji besar dan banyaknya sumber daya bagi staf proyek menyebabkan ketegangan dengan pemerintah, terutama karena direktor departemen pemerintah yang menangani CEP bertugas mengawasi seorang manajer proyek yang menerima gaji empat kali gajinya sendiri.


Tema ini sekarang melintasi perbatasan negara: elit managerial yang memperoleh gaji tinggi, yang mengawasi outsourcing dan pemiskinan pelayanan-pelayanan sosial – sementara masyarakat setempat harus mengisi kekosongan dengan tindakan-tindakan yang salah dikatakan oleh para pakar ilmu sosial sebagai ‘pemberdayaan masyarakat’ atau ‘pembangunan kembali modal sosial’. Satu orang yang diwawancarai tidak perlu mengucapkan kata sebanyak itu untuk menjelaskan keadaan yang menurut dia begini: ‘pekerjaan ini dulu dilakukan pemerintah; sekarang kami yang melakukannya, tetapi kami tidak dibayar.’

Akan tetapi proyek CEP ini memang mencapai keberhasilan sedikit. Terutama proyek air, yang sangat meningkatkan akses pada dan mutu air bagi masyarakat, khususnya membantu perempuan yang melakukan sebagian besar tugas memasak, mencuci dan membersihkan. Tetapi kegagalan-kegagalan dalam proyek mengalahkan keberhasilannya; terutama karena 58 sen dari setiap dolar dihabiskan untuk pengeluaran tambahan (14) – biasanya untuk mencegah proyek yang penuh dengan masalah dari kegagalan total. Selain itu, sementara banyak dari uang itu dipakai untuk pemberdayaan kemampuan dan pengembangan kelembagaan, ketrampilan-ketrampilan ini akan hilang semua ketika pemerintah yang baru dipilih dan merasa bingung dan kecewa, sudah menutup proyeknya.


KEMBALI KE TANAH KIOS


Warisan CEP yang akan paling lama berdampak adalah masalah dengan mikro-kredit. Mikro-kredit tidak bisa salah dalam mata para pakar pembangunan. Baik pembiaya maupun LSM-LSM merasa bergairah melihat jenis proyek pembangunan yang jarang – proyek yang ramah terhadap neo-liberalisme dan dapat juga (kadang-kadang) meringankan kemiskinan. Akan tetapi hubungan ini selalu lemah. Hanya menganggap bahwa memberikan sedikit uang dan beberapa ketrampilan akuntansi akan membantu orang-orang miskin untuk berkembang menjadi pengusaha kecil yang cerdas, mengabaikan penyebab-penyebab kemiskinan yang sudah sangat mendalam bagi sebagian orang.


Malah, kredit seringkali menempatkan penerima kredit dalam posisi yang sulit, karena banyak membelanjakan uang kredit itu untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak atau membuka apa yang, bagi mereka dan semua orang lain, merupakan pilihan yang masuk akal satu-satunya, kios. Secara keseluruhan, kesehatan bisnis yang buruk, digabung dengan kekurangan pendidikan tentang skema ini dan sistem perangsang yang tidak berfungsi dengan baik untuk pembayaran kembali, berarti bahwa hanya 30 hingga 40 persen dari kredit yang dipinjam, akan dibayar kembali.


Untuk menanggapinya, Bank mencoba untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini, menganjurkan untuk menyediakan lebih banyak pelatihan kepada para penerima kredit dan informasi yang lebih baik dan lebih mudah diakses tentang kegiatan-kegiatan pasar. Tetapi ada batas-batas tentang apa yang bisa diperbaiki dengan melakukan ini. Seorang penerima kredit yang tinggal di daerah pesisir yang sepi dan tandus di sub-distrik Bazartete, dengan mengolok mengatakan bahwa dia berterima kasih atas satu hari pelatihan tentang taktik-taktik bisnis, yang telah disediakan kepadanya oleh proyek ini, dua tahun yang lalu. Ini membantu mengkonfirmasikan kepadanya kenyataan yang telah lama disimpulkannya sendiri, bahwa kiosnya sudah sangat buruk keadaan finansialnya, dan halnya sama bagi dia untuk pilihan bisnis apa saja lainnya.


Seorang pendukung besar mikro-kredit di Timor membela berkembangbiaknya kios, membantah dengan mengatakan bahwa setelah melihat barang-barang dan bahan-bahan impor dalam kios, petani mempunyai perangsang untuk meningkatkan penghasilan mereka. Sepertinya mereka membutuhkan pikatan kios menjual supermie agar merangsang petani untuk meningkatkan penghasilan makanan setempat, sesuatu yang tidak bisa dilakukan kelaparan musiman – yang dialami oleh 78% orang Timor. (15) Malah, seringkali kios meruntuhkan penghasilan setempat dengan mengimpor minyak masak, beras dan kopi dan menjualnya dengan harga lebih murah. Dengan hampir setengah penduduk menafkahi hidupnya dengan kurang dari 55 sen per hari – garis kemiskinan mutlak PBB – Timor Leste adalah negara yang paling tidak bisa menelan percobaan pasar bebas seperti ini.(16) Malah, pembangunan harus mendorong industri dan pertanian setempat dan meninggalkan praktek non-persaingan di Timor Leste yang disebabkan penjualan barang dan bahan dari negara lain.


SIAPA YANG MENDORONG PEMBANGUNAN MASYARAKAT YANG DIDORONG MASYARAKAT?


Masuknya Bank ke bidang pembangunan masyarakat dan pemerintahan setempat ditanggapi dengan bermacam-macam pandangan dari masyarakat yang terpengaruh, pekerja dana bantuan, dan aktivis. Mungkin mereka harus mengingat hal-hal berikut ini:


Pertama-tama, CEP menunjukkan bahwa Bank telah meminjam konsep-konsep seperti ‘Pemberdayaan Masyarakat’ dan ‘pembangunan kembali modal sosial’, dan menggunakannya seperti dempul teoretis untuk menutup kesenjangan antara retorik Bank dan kegagalan-kegagalannya yang nyata selama dua puluh tahun perubahan struktural (structural adjustment). Dalam proses ini, konsep-konsep ini dikosongkan dari arti sebenarnya dan digunakan sebagai alat tipu untuk memperluas ruang lingkup operasi Bank. (17) Oleh karena alasan-alasan ini, model pembangunan seperti ini harus ditolak, dan kebebasan mereka dalam menggunakan istilah seperti ‘pemberdayaan’ dan ‘partisipasi’, dicabut.


Kedua, jika Strategi Dukungan dari Bank bermaksud untuk menempatkan pemerintah Timor Leste ‘dalam tempat duduk sopir’ – ungkapan yang sedang merupakan gaya baru di Bank – maka dalam hal CEP, pemerintah adalah sopir taksi, menerima perintah dan uang dari Bank Dunia sebagai penumpangnya. Dan ke manakah mobil itu dikemudikan? Melalui jaringan jalan yang ruwet, yang penuh dengan pertentangan yang pasti terjadi dalam upaya untuk membangun suatu negara cepat-cepat; dan melintasi fondasi-fondasi teoretis yang lemah, yang mengelabui mata masyarakat dari pelaksanaan prinsip-prinsip pasar bebas yang tidak tepat pada masyarakat akar rumput. Mungkin sudah waktunya bahwa rakyat Timor Leste harus menyita kembali mobilnya itu, dan mengusir para penumpang yang menumpang tanpa membayar, yang malah menghabiskan uang sopir itu sendiri.


*Ben Moxham adalah sukarelawan dengan Focus o­n the Global South, dan ia berpusat di Timor Leste. Dia bekerja sama dengan tim penelitian dan penilaian yang merupakan gabungan antara pemerintah dan masyarakat madani, untuk meneliti Proyek Pemberdayaan Kemampuan dan Pemerintahan Setempat (CEP). Ia mengetuai milis tentang ‘re-konstruksi pasca-konflik’ dan anda bisa menjadi anggota milis ini dengan mengirim email kepada: [email protected]


  1. Nalini Kumar, ‘Community Driven Development: Lessons from the Sahel, an Analytical Review’ Working Paper, The World Bank Operations Evaluation Department, 2003 p. iii; ‘Pembangunan yang Didorong Masyarakat: Pelajaran dari Sahel, Peninjauan Analitis, Kertas Kerja, Departmen Penilaian Operasi-operasi Bank Dunia, 2003, hal. iii.

(2) Anne Carlin, ‘Rush to Reengagement in Afghanistan: The IFIs Post-Conflict Agenda’, Bank Information Center, (December 2003); ‘Serbuan untuk Mengikutsertakan kembali Afghanistan: Tujuan Paca-Konflik Bank Dunia’, Pusat Informasi Bank, (Desember 2003).

(3) World Bank, ‘CEP 1 Project Appraisal Document’ (2000) p. 2; Bank Dunia, ‘CEP 1 Laporan Penilaian Proyek (2000) hal. 2.

(4) Konsultasi yang dilakukan di seluruh negara untuk Rencana Pembangunan Nasional Timor-Leste, yang mengadakan lebih dari 1000 forum, mencakup lebih dari 38.000 warga negara Timor-Leste. Mereka menghasilkan visi nasional 20-tahun untuk negara ini; menentukan pendidikan, kesehatan dan pekerjaan sebagai prioritas utama.

(5) ‘Timor Leste: Poverty in a New Nation: Analysis for Action’, National Poverty Assessment Project, (May 2003), p. 75; ‘Timor-Leste: Kemiskinan di Negara Baru: Suatu Analisis untuk Bertindak’, Proyek Penilaian Kemiskinan Nasional, (Mei 2003), hal. 75.

(6) ‘The 2001 Survey of Sucos: Initial Analysis and Implications for Poverty Reduction’, ETTA, ADB, World Bank and UNDP, (October 2001) p. 39; Survei Suco tahun 2001: Analisis Awal dan Dampak untuk Pengurangan Kemiskinan’, ETTA, ADB, Bank Dunia dan UNDP, (Oktober 2001), hal. 39.

(7) World Bank, ‘CEP 1 Project Appraisal Document’ (2000), p. 9; Bank Dunia, ‘CEP 1 Laporan Penilaian Proyek, (2000), hal. 9.

(8) Lihat Bab Enam dari ‘Depoliticizing Development: The World Bank and Social Capital’, John Harris, Left Word (October 2002) New Delhi; ‘Melakukan De-politisasi Pembangunan; Bank Dunia dan Modal Sosial’, John Harris, Left Word, (Oktober 2002).

(9) Lihat ‘East Timor Community Development Review Report’, Community Development Working Group (December 2001); ‘Laporan Peninjauan Pembangunan Masyarakat di Timor Leste’, Kelompok Kerja Pembangunan Masyarakat, (Desember 2001).

(10) World Bank, ‘CEP 1 Project Appraisal Document o­ne’ (2000) p. 9; Bank Dunia, “CEP 1 Laporan Penilaian Proyek 1 (2000), hal. 9.

(11) Tanya Hohe dan Sofi Ospina, ‘Traditional Power Structures and the Community Empowerment and Local Governance Project: Final Report’ (June, 2001) p. 55; Struktur Kekuasaan Tradisional dan Proyek Pemberdayaan Kemampuan dan Pemerintah Setempat: Laporan Akhir (Juni 2001), hal. 55.

(12) World Bank, ‘CEP 3 Project Appraisal Document’, (2002), p. 39; Bank Dunia, ‘CEP 3 Laporan Penilaian Proyek (2002), hal. 39.

(13) Tim Kessler, ‘Review of World Development Report 2004, “Making Services Work for the Poor”’, diambil dari www.networkideas.org (January 2004); ‘Peninjauan dari Laporan Pembangunan Sedunia 2004, “Membuat Pelayanan Bekerja untuk Masyarakat Miskin”, (Januari 2004).

(14) World Bank, ‘Background Paper to the Timor-Leste and Development Partners Meeting, Annex 3: Key Issues in Expenditure Policy and Management’, Dili (3rd-5th December, 2003) p. 25; Bank Dunia, ‘Kertas Latar Belakang untuk Konferensi Donor Timor-Leste, Aneks 3, Isu-isu Utama dalam Kebijakan dan Pengelolaan Pengeluaran’, (3-5 Desember 2003), hal. 25.

(15) The 2001 Survey of Sucos, lihat di atas n. (7) p. 59; Survei Suco 2001, N. 7 hal. 59.

(16) UNDP ‘Timor-Leste National Human Development Report’ (2002); UNDP ‘Laporan Nasional Mengenai Pengembangan Manusia di Timor-Leste’, (2002).

(17) Untuk membaca analisis yang sangat terperinci tentang modal sosial dan bagaimana sistem ekonomi sebagaimana didorong Bank merupakan kolonisasi Ilmu Sosial, lihat Ben Fine, ‘It Ain’t Social, It Ain’t Capital and It Ain’t Africa’, Studia Africa, No. 13, 2002, pp. 18-33; ‘Itu Bukan Sosial, Bukan Modal, dan Bukan Afrika, Studi Afrika, No. 13 2002, hal. 18-33.